![]() |
Gerbang Phak Khak Liang |
Menariknya, perpindahan mereka dari Tionghoa ke Bangka, melakukan
migrasi sistem bedol desa. Sebagian besar berasal dari satu kampung
halaman. Tak ubahnya para urban di Jakarta , saat mereka pulang kampung
ke Tiongkok sendirian, pulang ke Bangka mereka mengajak kawan dan sanak
saudaranya ikut serta. Dan itu berlangsung terus hingga abad ke-20. Arus pertama migrasi bedol desa tersebut, tidak disertai kaum wanita,
sehingga terjadilah perkawinan campuran antara buruh migran dengan
wanita setempat (melayu) ataupun perempuan Jawa dan Bali.
Apa tujuan orang China ke Bangka?
Bagian terbesar dari migran tersebut adalah untuk tambang timah.
Seiring perjalanan waktu, di Pulau Bangka yang berada di bawah
Kesultanan Palembang ditemukan timah, dan tenaga kerja yang dianggap
berpengalaman adalah orang Tionghoa suku Kejia yang memang terkenal
memiliki keahlian di bidang pertambangan. Sultan Palembang meniru pengalaman Sultan Perak dan Sultan Johor yang
mempekerjakan pekerja tambang Tionghoa untuk mengolah cadangan timah.
Salah satu perintis yang diberi kepercayaan adalah Lim Tau Kian, seorang
Tionghoa Muslim asal Guang Zhou (Canton), seorang sahabat Sultan Johor.
Lim Tau Kian yang memiliki nama Melayu Ce Wan Abdulhayat bermukim di
Kota Mentok. Dia memiliki anak cucu yang memakai gelar dari Kesultanan
Johor, yakni Abang untuk lelaki dan Yang untuk perempuan (Sumber: Bangka Tin and Mentok Pepper karya Mary F Somers Heidhues). Buyung Benjamin seorang sesepuh Tionghoa Bangka, menceritakan bahwa
warga Tionghoa sudah ada di pulau Bangka sebelum kedatangan Ekspedisi Zheng He (Cheng
Ho dalam dialek Fujian-Red) tahun 1405 Masehi. “Saya sendiri sudah
keturunan ke sepuluh di Pulau Bangka. Hingga kini kami masih mendengar
cerita tentang keahlian leluhur kami dalam menambang timah,” kata
Buyung. Menurut Buyung, masyarakat Tionghoa-lah yang memperkenalkan teknik
bertambang yang hingga kini masih dikenal. Kosa kata “Ciam” (Jian dalam
Mandarin-Red) atau pengebor, “Sakan” alias pengayak pasir timah, hingga
“Kolong” yakni lubang tambang besar dari Dialek Ke Jia adalah sebagian
kecil dari bukti peninggalan tradisi Tionghoa yang masih bertahan hingga
kini.
Sebelum Belanda bercokol di Bangka-Belitung, kongsi-kongsi China
terlebih dulu mengupayakan penambangan timah dengan izin dari Sultan
Palembang. Seizin penguasa Kesultanan Palembang dan Kerajaan-kerajaan
Melayu seperti Lingga dan Johor yang silih berganti menanamkan pengaruh
di Bangka-Belitung, masyarakat Tionghoa pun membangun permukiman di
sana. Permukiman mula-mula berada di sekitar Panji dekat Teluk Klabat. Selanjutnya, seiring penemuan tambang baru, permukiman berkembang di
Toboali, Koba, Sungailiat, Jebus, Merawang, Baturusa, dan Koba di
selatan Pulau Bangka terciptalah pola permukiman yang unik, masyarakat
Bangka-Melayu tinggal di dekat sungai karena mereka berkebun. Sedangkan
perkampungan Tionghoa selalu berada di sekitar lubang tambang timah
sesuai jalur timah (tin trap) di sepanjang Pulau Bangka dan Belitung.
Pola permukiman tersebut tetap bertahan hingga hari ini atau lebih dari
tiga abad!
“Perkampungan Tionghoa selalu berada di sekitar jebakan timah atau
bekas tambang. Sedangkan perkampungan Melayu di sekitar sungai tempat
mereka berkebun dan mencari nafkah dari berladang,” kata Buyung
Benjamin. Sedangkan salah satu Ketua Badan Warisan Bangka (Bangka Heritage
Society) Hongky Lay Listiyadhi menjelaskan, Para petinggi Tionghoa yang
semula di sebut Tiko (Da Ge dalam bahasa Mandarin) yang artinya “Kakak”
menjadi pemimpin komunitas mereka. Selanjutnya pada zaman kolonial
Belanda, para ketua Tionghoa tersebut diberi pangkat titular sebagai
Letnan dan Kapten China (Lieutenant dan Kapitein de Chinezen).
Mary F Somers Heidhues mencatat, migrasi
orang Tionghoa sempat terhenti pada akhir abad ke-18 akibat gangguan
bajak laut dan gangguan penyakit beri-beri. Demikian pula pada suatu
masa di abad ke-19 gangguan wabah penyakit sempat menghambat laju
migrasi dari Tiongkok ke Bangka. Umumnya para perantau tersebut datang akibat informasi getok tular
dari teman sekampung yang sudah terlebih dahulu merantau ke Bangka.
Tetapi, untuk berangkat, biasanya mereka harus melalui agen tenaga kerja
seperti PJTKI di Indonesia. Agen tersebut ada yang berpusat di
Singapura, Tiongkok ataupun Bangka. Perlahan tapi pasti, jumlah migran tersebut terus bertambah hingga
akhirnya kaum wanita turut pula berdatangan ke Bangka. Mereka pun
beranak-pinak di Bangka-Belitung hingga kini.
Nyaris serupa dengan nasib TKI yang disiksa di negeri jiran, demikian
pula para perantau yang menjadi kuli tambang Timah Tionghoa. Mereka
kerap diperlakukan tidak manusiawi, dijebak dengan utang dari mandor,
disediakan fasilitas judi dan permadatan sehingga semakin terjebak
lilitan utang serta pelbagai kekerasan lain.
Alhasil, aksi perlawanan dan terkadang berujung pada pemberontakan
sering terjadi. Salah satu tokoh Melayu Depati Amir yang menentang
Belanda, menurut banyak sumber juga dibantu oleh para tokoh-tokoh
Tionghoa setempat. Demikian pula pada akhir abad ke-19, terjadi
pemberontakan Liu Ngie melawan kekuasaan Belanda yang dimotori Tionghoa Bangka. Bahkan, pada masa kemerdekaan pun, seorang tokoh Tionghoa yakni Tony
Wen menembus blokade Belanda untuk menyelundupkan opium ke Singapura dan
dari sana menyelundupkan senjata untuk membantu perjuangan Republik
Indonesia. Dia sempat memimpin sejumlah laskar relawan internasional
untuk melawan Belanda dalam perang kemerdekaan di Jawa.
Kini nama Tony Wen diabadikan sebagai
nama jalan di Kota Pangkalpinang. Penghargaan tersebut diberikan
menyusul dinamakannya Bandara Pangkalpinang dengan nama Depati Amir. Waktu berlalu,Di Bangka pun kini terdapat museum Budaya Tionghoa
khususnya suku Hakka. Ribuan klenteng besar dan kecil, rumah antik
berusia ratusan tahun, dan pola hidup tradisional merupakan warisan
budaya yang unik dan tiada duanya. Hongky sebagai buyut dari Kapitein Tionghoa Lay Nam Chen menghuni
rumah berusia 150 tahun lebih di pusat Kota Pangkal Pinang. Bangunan
kayu antik peninggalan para leluhur migran dari Tiongkok masih dapat
dilihat di sana-sini. Rumah induk, halaman tengah dan bagian belakang
yang luas merupakan pakem dari bangunan masa itu.
![]() |
Rumah di Kampung Gedong |
Suasana di permukiman yang hanya dihuni sekitar 50 keluarga itu
sangat sepi dan tenang. A Kiong, warga setempat mengatakan, warga di
situ selalu berkumpul di sore hari. “Setiap hari besar seperti Imlek, Peh Cun, Qing Ming pasti digunakan untuk berkumpul warga,” kata A Kiong yang sehari-hari membuat kerupuk ikan. Dalam sejumlah perayaan, sering kali diarak lakon Sun Go Kong (Sun Wu
Gong) yang menjadi Dewa Pelindung Kampung Gedong. Menurut Hongky, sejak
tahun 2000, Kampung Gedong ditetapkan sebagai desa wisata. Namun, perlahan tapi pasti, generasi muda Kampung Gedong yang
berpendidikan baik mulai meninggalkan kampung halaman mereka. Yang unik
adalah, kaum muda yang tersisa kembali bekerja di tambang timah
tradisional (kerap disebut Tambang Inkonvensional atau TI) mengikut
jejak langkah nenek moyang mereka dengan teknik yang kurang lebih sama. Sedangkan berkebun lada sudah tidak lagi dilakukan karena harga lada
yang telanjur hancur. Tampaknya sejarah Tionghoa dan timah di Bangka
sedang terulang kembali.
Sumber artikel : www.dukonbesar.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih untuk komentar Anda. Komentar, Saran, dan Kritik akan sangat membantu kami menjadi lebih baik. Semua Kritik dan Saran akan diterima dengan senang hati. Semoga artikel ini bermanfaat untuk kita semua.